AKU BUKAN LORO
JONGGRANG
“Bu, pokoknya
Laras nda’ mau menikah sama Mas
Bagus. Laras nda’ cinta bu sama dia.”
“Lalu kamu mau
menikah sama siapa tow ndo’? Sepeninggal
Galih, kamu nda’ pernah lagi’e
mengenal laki-laki.”
“Pokoknya Laras nda’ mau bu sama Mas Bagus! Laras nda’ akan pernah mau! Amit-amit deh bu!”
“Husss nda’ boleh kamu ngomong begitu ndo’! Nanti kalau jadi gimana?”
“Jadi apa tow bu?”
“Jadi istrinya
Bagus.”
“Lha si ibu
malah ngeledek anak’e piye tow?”
“Hahaha Laras..
Laras, yowis ibu nda’ akan maksa kamu menikah sama Bagus. Ibu cuma kepengin kamu
bahagia ndo’”
><><><
Pagi yang indah, namun tidak seindah
hati Laras. Semenjak Galih pergi, hati Laras selalu hampa. Entah karena memang
belum ada yang pas di hatinya untuk menggantikan Galih, atau karena Laras
memang enggan memberikan hatinya pada siapapun? Entah.
“Ras, Bagus
sudah nunggu kamu itu lho di depan. Mbo’ cepet
tow.” Sapa ibu membuyarkan lamunan
Laras.
“Iya bu.”
“Laras, kamu
jangan dulu bilang kalo kamu nda’ cinta
sama nak Bagus sebelum kamu coba belajar mencintai dia. Dia anak yang baik lho ndo’.”
“Tuh kan!
Katanya ibu nda’ mau maksa-maksa
Laras lagi?”
“Lho ibu nda’ memaksa Laras, ibu hanya
menyarankan. Inget lho ndo’, Galih
juga nda’ mungkin bahagia melihat
kamu seperti ini.”
“Yowis Laras berangkat kerja dulu yo bu?”
“Hati-hati yo ndo’.”
Laras
mengangguk, setelah mencium tangan ibunya ia berlalu.
><><><
“Kamu itu nda’ pernah capek opo Ras manyun terus?
Nanti ayu mu luntur lho.”
“Lha mas sendiri
nda’ capek tiap hari antar jemput aku
ke Prambanan? Padahal tempat kerja kita nda’
searah.”
“Nda’ ada kata capek untuk mendapatkan
cinta kamu Ras. Mas sadar kamu bukan gadis biasa yang dengan mudah memberikan
cinta. Kamu beda dari gadis lain Ras. Itu yang buat mas sampai detik ini nda’ bisa berhenti mencintai kamu.”
“Gombal.”
“Lha piye tow kok malah dikatain gombal?”
“Sudah-sudah aku
turun disini aja mas.”
“Lho kan belom
nyampe tempat mu kerja Ras.”
“Di depan macet.
Aku jalan kaki aja.”
“Nanti mas
jemput jam 5 sore yo.”
“Terserah mas
aja.”
><><><
Nama ku Larasati. Dulu, hidupku
nyaris sempurna. Ya.. walaupun aku bukan terlahir dari keluarga kaya dan aku
harus bekerja menjaga Ruko orang di pasar Prambanan setiap harinya untuk
membantu ayah dan ibu. Tapi aku bahagia dengan hidupku. Aku punya ibu yang berhati malaikat, yang selalu
mengerti aku dan ada untuk aku. Aku punya ayah yang selalu menjaga ku,
melindungi aku dari apapun itu, Namun sudah 2 bulan ini ayah pergi ke kota
orang untuk urusan pekerjaannya. Dan… aku punya Mas Galih, aku punya mas Galih
yang selalu mencintaiku.
Tapi itu dulu, sebelum sebuah truk
pengangkut besi menyerempet sepeda motornya. Kejadian itu sekitar 6 bulan yang
lalu. Tepat ketika ia pulang dari pasar membeli cincin pernikahan kami. Ia
tewas di tempat dengan menggenggam cincin pernikahan kami di tangan kirinya.
Itu sebabnya aku merasa sulit untuk
melupakannya. Hubungan kami sudah 3 tahun dan sekitar 6 bulan yang lalu kami
berencana menikah. Tapi, Allah berkehendak lain. Ibu selalu mengatakan
kepadaku,
“Laras, Allah nda’ pernah tidur. Dia pasti memiliki
rencana yang indah untuk mu ndo’.”
Mas Bagus? Sebenarnya dia itu orang
yang baik, sopan, ganteng sih, dan dia juga sangat menyayangiku, bahkan sejak
dulu. Sejak Mas Galih masih disini, masih bersama ku. Aku ingat, Mas Galih
pernah mengatakan sesuatu kepada Mas Bagus,
“Gus, jangan
pernah berhenti mencintai Laras yo.
Suatu saat nanti aku mau cuma kamu yang jagain dan cintain Laras.”
Aku pikir kata-kata
itu tidak bermakna, tapi ternyata itu amanat. Aku pikir cuma Mas Galih lah yang
akan jaga dan cintai aku selamanya, tapi ternyata tidak.
Sebaik, sesopan, seganteng atau
sesayang apapun Mas Bagus kepada ku tidak membuat aku mudah memberikan rasa itu. Rasa yang sunggu tak aku
miliki untuknya. Kata ibu, “witing tresno
jalaran soko kulino”
Tapi mana? Rasa itu
ngga pernah ada.
Aku dan Mas Galih tidak pernah
meminta untuk saling mencinta. Takdir Allah yang mempertemukan kita, menjadikan
kita saling menyayangi, dan memisahkan kita dengan takdir-Nya. Atau mungkin
bukan memisahkan, hanya menundanya sesaat dan kelak akan dipertemukan kembali.
><><><
“Laras.. Laras…
pembeli kok kamu cuekin tow ndo’?”
sapa Bu Ambar membuyarkan lamunan ku.
“Eh ng anu bu anu..
saya.. saya laper bu belum makan.”
“Lho piye tow? Yowis kamu makan dulu gih biar
ibu yang jaga rukonya.”
Laras mengangguk
dan berlalu.
Tiba-tiba…
Brukkkkkk…
><><><
“Bu, Laras
dimana?”
“Kamu di rumah ndo’, tadi kamu pinsan di Ruko Bu Ambar
lalu nak Bagus yang mengantar kamu pulang. Kamu kenapa tow ndo’? mbo’ jangan bikin ibu khawatir.”
“Laras nda’ papa kok bu, paling cuma kecapean
aja. Ibu jangan khawatir yo. Tapi bu,
kok bisa Mas Bagus yang nganter Laras? Memang Mas Bagus nda’ kerja?”
“Justru itu ndo’, katanya Bu Ambar waktu kamu jatuh
langsung ditangkep sama nak Bagus. Untung ada dia, ibu nda’ abis fikir gimana kalo nda’
ada dia? Sudah bocor kepala mu ndo’ kena
lantai.”
“Husss si ibu
ngomongnya. Kok Mas Bagus bisa ada di ruko?”
“Lha yo ibu nda’ tau ndo’. Yowis kamu istirahat, ibu mau kedapur
dulu.”
Laras mengangguk
pelan.
“Kenapa ya Mas
Bagus selalu jadi orang yang tepat disaat yang tepat? Aneh.” Batin Laras.
><><><
“Mbo’ jangan masuk kerja dulu tow ndo’, Bu Ambar ngijini kamu istirahat
dulu kok.”
“Laras sudah nda’ papa bu. Jangan khawatir yo.”
“Nak Bagus
hati-hati naik motornya, jangan ngebut-ngebut yo.” pesan ibu.
“Siap bu.”
Jawabnya.
“Yowis Laras berangkat dulu yo bu.”
“Hati-hati ndo’.”
Laras
mengangguk, mencium tangan ibunya dan berlalu.
><><><
Suasana
kota Yogyakarta normal seperti biasa. Nampak beberapa sepeda motor, mobil,
becak, andong dan pejalan kaki ngalor-ngidul di jalanan. Lumrah seperti
biasa. Tidak ada yang aneh kecuali sikap Mas Bagus pagi ini. Pagi ini Mas Bagus
lebih pendiam, padahal biasanya ia selalu menggoda Laras. Membuat mood Laras kacau. Namun, ada apa pagi
ini? Apakah dia sakit gigi? Dan kenapa ocehan-ocehan ngga pentingnya itu terasa
ngagenin? Aneh.
Sepeda
motor yang dikendarai Mas Bagus berhenti, aku turun. Keadaan masih hening.
Orang yang ada di hadapan ku ini seperti orang asing. Ya, bukan seperti Mas
Bagus yang biasanya.
“Nanti mas jemput aku jam 5?” aku
membuka pembicaraan.
Dia tersenyum, mengangguk, dan berlalu.
Aneh.
><><><
Ruko sudah tutup
tapi Bagus belum juga datang, Laras memutuskan untuk berkeliling Prambanan
sebentar. Entah mengapa, hatinya yang menuntun kakinya ketempat ini. Tempat
yang bukan hanya bersejarah bagi bangsa Indonesia, namun juga untuk Laras. Ya,
di tempat ini Laras pertama kali bertemu dengan Galih, di tempat ini Galih
mengutarakan perasaannya kepada Laras, dan di tempat ini juga Galih melamar
Laras.
Menurut mitos,
pasangan yang berpacaran di candi Prambanan kisah cinta tidak akan abadi. Tapi
Laras dan Galih tidak percaya dengan mitos itu, karena justru Prambanan lah
yang mempertemukan mereka. Jika sekarang cinta mereka terpisah dan tidak abadi,
Laras percaya ini sudah takdir Allah. Lagi pula, Galih tetap tumbuh di hati
Laras. Meskipun pernikahan impiannya dengan Galih tidak terwujud, tempat ini
tetap indah dimata Laras. Karena tempat ini saksi bisu dimana 2 insan bertemu.
“Ras kalo kamu
nolak mas sebagai pacarmu, mas mau mengajukan diri sebagai suami mu. Apa kamu
mau Ras?” Suara Mas Bagus membuyarkan lamunan ku.
“Ini apa-apaan
sih? Tadi pagi mas diemin aku, sekarang tiba-tiba mas ngelamar aku? Maksut mas
apa sih?”
“Tadi pagi mas
diemin kamu karena setengah mati memikirkan malam ini Ras. Kamu adalah
satu-satunya perempuan yang membuat mas nda’
berdaya. Kamu tahu kan mas dengan mudahnya gonta-ganti cewe sesuka hati. Tapi mas nda’ mudah dapetin kamu. Itu alesan kenapa mas milih kamu untuk
jadi pendamping mas. Dan bukankah ini sekaligus menjalankan amanat Galih?”
“Lalu kalo mas
udah bisa dapetin aku mas akan ninggalin aku seperti cewe-cewe mas yang lain?”
“Nda’ Ras, mas serius sama kamu. Mas
janji.”
“Aku nda’ butuh janji mas.”
“Lalu apa yang
harus mas lakuin supaya kamu mau jadi istri mas?”
Laras terdiam..
perasaan dalam hatinya bergelora. Ia tak mengerti apa yang sedang ia rasakan.
Mulutnya bersikeras mengatakan bahwa ia TIDAK MENCINTAI Bagus, namun hatinya?
Kenapa dia uring-uringan melihat perubahan sikap Bagus padanya tadi pagi? Rasa
apakah ini? Dan bagaimana dengan Galih? apakah Laras mengkhianatinya jika
ternyata ia mencintai Bagus?
“Larass..” suara
Bagus membuyarkan lamunan Laras.
“Buatkan aku 100
lukisan wajah ku. Harus jadi besok pagi jam 8.”
“Tapi Ras itu nda’ mungkin. Sekarang sudah malam. Mas
hanya punya waktu 14 jam untuk menyelesaikan 100 lukisan? Itu mustahil Ras.”
“Mas ambil
persyaratan ku atau nda’ sama sekali.
Laki-laki pesimis nda’ pantas jadi
suami ku.”
Laras pun berlalu
tanpa menghiraukan jawaban Bagus. Iya kecewa dengan kepesimisannya barusan.
“Oke Ras, mas
akan pulang dan buatkan 100 lukisan untuk mu.”
><><><
“Kenapa kamu
berikan persyaratan sesulit itu kepada Bagus?” Tanya ibu.
“Entahlah bu,
Laras nda’ tahu.”
“Kamu
mencintainya ndo’?”
Laras menggeleng
pelan.
“Tapi bu,
bagaimana kalau Mas Bagus nda’ mampu
membuat 100 lukisan untuk Laras dalam waktu 14 jam?”
Ibu tersenyum
mengembang..
“Kamu khawatir
dia nda’ sanggup?”
Laras mengangguk
pelan.
“Itu berarti
kamu mencintainya ndo’, jangan jadi
orang munafik. Ikuti kata hati mu.”
“Tapi bu,
bagaimana dengan Mas Galih?”
“Kenapa dengan
Galih? Dia sudah tenang disana.”
“Apa Laras
mengkhianati Mas Galih apabila Laras mencintai Mas Bagus?”
“Tentu saja nda’ Laras. Bukankah sebelum pergi Galih
memberikan amanat kepada Bagus untuk menjaga dan mencintai kamu selamanya?”
Laras
mengangguk.
“Kejar cinta mu ndo’, sebelum kamu kehilangannya untuk
yang kedua kali.”
Laras tersenyum
dan berlalu.
><><><
“Mas Bagus…? ”
“Kamu
PEMBUNUH!!!”
“Apa maksutnya
pembunuh? Siapa yang aku bunuh? Mas Bagus ada di dalam kan? Dia mau menikah
dengan aku kan bu?”
“Gara-gara kamu
anak ku mati. Kamu pembuh Laras. Kamu pembunuh!!”
Laras diam.
Tubuhnya mematung. Kata-kata ibunya Bagus bagaikan petir yang menggelegar.
Bukan, bukan karena ibunya Bagus menuduh Laras pembunuh. Tapi ibunya Bagus
mengatakan kalau Bagus sudah meninggal? Ya Allah..
“Sepulang dari
rumah mu Bagus buru-buru pergi membeli alat-alat lukisan. Dia ngebut dan
kecelakaan. Semua ini gara-gara kamu!
Bagus nda’ mungkin seperti ini kalau
kamu nda’ ngasih syarat bodoh seperti
itu! ” tutur ibu Bagus disela-sela tangisnya.
“Apaaa? Itu
pasti bohong kan bu? Aku nda’ mungkin
kehilangan orang yang aku cinta untuk kedua kalinya!!!”
“Dasar
pembunuh!!!!”
“Aku terlambat!
Aku kehilangan dia lagi, aku kehilangan orang yang aku cinta lagi! aku
terlambat! Mas Bagussssssssssssss………”
><><><
“Ras Laras kamu
kenapa teriak-teriak begitu ndo’?”
“Laras terlambat
bu.” Laras mulai menangis.
“Terlambat?
Terlambat apa maksut mu ndo’? coba
jelasin sama ibu.”
“Mas Bagus
meninggal bu, Laras sudah kehilangan orang yang Laras cinta untuk kedua
kalinya. Laras terlambat bu….”
“Apa? Bagus
meninggal? Kamu kata siapa ndo’?”
“Ibunya mas
Bagus sendiri yang bilang sama Laras. Kata ibunya mas Bagus Laras adalah
pembunuh, karena gara-gara Laras mas Bagus meninggal.”
“Kamu cuci muka
gih, sepertinya kamu habis mimpi buruk.”
“Apaa? Mimpi
bu?”
“Iya mimpi.
Bagus baik-baik aja kok ndo’.”
“Ibu serius?
Beneran bu?”
“Bener. Kamu ke
rumahnya gih sebelum mimpi buruk kamu jadi kenyataan. Kamu nda’ mau terlambat dan kehilangan cinta untuk kedua kalinya kan?”
Laras mengangguk
dan berlalu.
><><><
“Mas Bagusssssss?”
“Ada apa Ras?
Lukisan yang kamu minta baru jadi 99. Kamu nda’
memintanya sekarang kan?”
Laras tidak
menjawab, ia memeluk Bagus.
“Kamu marah
Ras?”
Laras menggeleng
pelan.
“Lupakan lukisan
itu mas, aku nda’ mau kamu kutuk aku
menjadi lukisan seperti kisah loro jonggrang yang dikutuk menjadi candi.”
“Kamu ini
ngomong apa?”
“Aku mau menjadi
istri mu mas.”
“Apa? Mas nda’ denger Ras.”
“A-ku ma-u
men-ja-di is-tri ka-mu mas!!!!!!”
><><><
Jangan sia-sia
kan orang disekitar kita sebelum kamu kehilangan dia untuk selamanya. Sesuatu
yang telah hilang biasanya akan terasa lebih berarti.
“Galih, aku akan
jalani amanat mu. Aku akan jaga dan cintai Laras. Aku nda’ rebut dia dari mu tow?”
“Mas Galih, maaf
kalo Laras sudah mencintai laki-laki lain selain mas, tapi percayalah cinta
Laras nda’ akan pernah hilang buat
mas.”
“Percaya sama
ibu, Galih tersenyum disana melihat kalian bahagia.”
><><><
Tidak ada komentar:
Posting Komentar