Sabtu, 22 Desember 2012

AKU BUKAN LORO JONGGRANG





AKU BUKAN LORO JONGGRANG

“Bu, pokoknya Laras nda’ mau menikah sama Mas Bagus. Laras nda’ cinta bu sama dia.”
“Lalu kamu mau menikah sama siapa tow ndo’? Sepeninggal Galih, kamu nda’ pernah lagi’e mengenal laki-laki.”
“Pokoknya Laras nda’ mau bu sama Mas Bagus! Laras nda’ akan pernah mau! Amit-amit deh bu!”
“Husss nda’ boleh kamu ngomong begitu ndo’! Nanti kalau jadi gimana?”
“Jadi apa tow bu?”
“Jadi istrinya Bagus.”
“Lha si ibu malah ngeledek anak’e piye tow?
“Hahaha Laras.. Laras, yowis ibu nda’ akan maksa kamu menikah sama Bagus. Ibu cuma kepengin kamu bahagia ndo’

><><>< 

            Pagi yang indah, namun tidak seindah hati Laras. Semenjak Galih pergi, hati Laras selalu hampa. Entah karena memang belum ada yang pas di hatinya untuk menggantikan Galih, atau karena Laras memang enggan memberikan hatinya pada siapapun? Entah.
“Ras, Bagus sudah nunggu kamu itu lho di depan. Mbo’ cepet tow.” Sapa ibu membuyarkan lamunan Laras.
“Iya bu.”
“Laras, kamu jangan dulu bilang kalo kamu nda’ cinta sama nak Bagus sebelum kamu coba belajar mencintai dia. Dia anak yang baik lho ndo’.
“Tuh kan! Katanya ibu nda’ mau maksa-maksa Laras lagi?”
“Lho ibu nda’ memaksa Laras, ibu hanya menyarankan. Inget lho ndo’, Galih juga nda’ mungkin bahagia melihat kamu seperti ini.”
Yowis Laras berangkat kerja dulu yo bu?”
“Hati-hati yo ndo’.”
Laras mengangguk, setelah mencium tangan ibunya ia berlalu.

><><>< 

“Kamu itu nda’ pernah capek opo Ras manyun terus? Nanti ayu mu luntur lho.”
“Lha mas sendiri nda’ capek tiap hari antar jemput aku ke Prambanan? Padahal tempat kerja kita nda’ searah.”
Nda’ ada kata capek untuk mendapatkan cinta kamu Ras. Mas sadar kamu bukan gadis biasa yang dengan mudah memberikan cinta. Kamu beda dari gadis lain Ras. Itu yang buat mas sampai detik ini nda’ bisa berhenti mencintai kamu.”
“Gombal.”
“Lha piye tow kok malah dikatain gombal?”
“Sudah-sudah aku turun disini aja mas.”
“Lho kan belom nyampe tempat mu kerja Ras.”
“Di depan macet. Aku jalan kaki aja.”
“Nanti mas jemput jam 5 sore yo.
“Terserah mas aja.”

><><>< 

            Nama ku Larasati. Dulu, hidupku nyaris sempurna. Ya.. walaupun aku bukan terlahir dari keluarga kaya dan aku harus bekerja menjaga Ruko orang di pasar Prambanan setiap harinya untuk membantu ayah dan ibu. Tapi aku bahagia dengan hidupku. Aku punya  ibu yang berhati malaikat, yang selalu mengerti aku dan ada untuk aku. Aku punya ayah yang selalu menjaga ku, melindungi aku dari apapun itu, Namun sudah 2 bulan ini ayah pergi ke kota orang untuk urusan pekerjaannya. Dan… aku punya Mas Galih, aku punya mas Galih yang selalu mencintaiku.
            Tapi itu dulu, sebelum sebuah truk pengangkut besi menyerempet sepeda motornya. Kejadian itu sekitar 6 bulan yang lalu. Tepat ketika ia pulang dari pasar membeli cincin pernikahan kami. Ia tewas di tempat dengan menggenggam cincin pernikahan kami di tangan kirinya.
            Itu sebabnya aku merasa sulit untuk melupakannya. Hubungan kami sudah 3 tahun dan sekitar 6 bulan yang lalu kami berencana menikah. Tapi, Allah berkehendak lain. Ibu selalu mengatakan kepadaku,
“Laras, Allah nda’ pernah tidur. Dia pasti memiliki rencana yang indah untuk mu ndo’.”
            Mas Bagus? Sebenarnya dia itu orang yang baik, sopan, ganteng sih, dan dia juga sangat menyayangiku, bahkan sejak dulu. Sejak Mas Galih masih disini, masih bersama ku. Aku ingat, Mas Galih pernah mengatakan sesuatu kepada Mas Bagus,
“Gus, jangan pernah berhenti mencintai Laras yo. Suatu saat nanti aku mau cuma kamu yang jagain dan cintain Laras.”
Aku pikir kata-kata itu tidak bermakna, tapi ternyata itu amanat. Aku pikir cuma Mas Galih lah yang akan jaga dan cintai aku selamanya, tapi ternyata tidak.
            Sebaik, sesopan, seganteng atau sesayang apapun Mas Bagus kepada ku tidak membuat aku mudah  memberikan rasa itu. Rasa yang sunggu tak aku miliki untuknya. Kata ibu, “witing tresno jalaran soko kulino”
Tapi mana? Rasa itu ngga pernah ada.
            Aku dan Mas Galih tidak pernah meminta untuk saling mencinta. Takdir Allah yang mempertemukan kita, menjadikan kita saling menyayangi, dan memisahkan kita dengan takdir-Nya. Atau mungkin bukan memisahkan, hanya menundanya sesaat dan kelak akan dipertemukan kembali.

><><>< 

“Laras.. Laras… pembeli kok kamu cuekin tow ndo’?” sapa Bu Ambar membuyarkan lamunan ku.
“Eh ng anu bu anu.. saya.. saya laper bu belum makan.”
“Lho piye tow? Yowis kamu makan dulu gih biar ibu yang jaga rukonya.”
Laras mengangguk dan berlalu.
Tiba-tiba…
Brukkkkkk…

><><>< 

“Bu, Laras dimana?”
“Kamu di rumah ndo’, tadi kamu pinsan di Ruko Bu Ambar lalu nak Bagus yang mengantar kamu pulang. Kamu kenapa tow ndo’? mbo’ jangan bikin ibu khawatir.”
“Laras nda’ papa kok bu, paling cuma kecapean aja. Ibu jangan khawatir yo. Tapi bu, kok bisa Mas Bagus yang nganter Laras? Memang Mas Bagus nda’ kerja?”
“Justru itu ndo’, katanya Bu Ambar waktu kamu jatuh langsung ditangkep sama nak Bagus. Untung ada dia, ibu nda’ abis fikir gimana kalo nda’ ada dia? Sudah bocor kepala mu ndo’ kena lantai.”
“Husss si ibu ngomongnya. Kok Mas Bagus bisa ada di ruko?”
“Lha yo ibu nda’ tau ndo’. Yowis kamu istirahat, ibu mau kedapur dulu.”
Laras mengangguk pelan.
“Kenapa ya Mas Bagus selalu jadi orang yang tepat disaat yang tepat? Aneh.” Batin Laras.

><><>< 

Mbo’ jangan masuk kerja dulu tow ndo’, Bu Ambar ngijini kamu istirahat dulu kok.”
“Laras sudah nda’ papa bu. Jangan khawatir yo.”
“Nak Bagus hati-hati naik motornya, jangan ngebut-ngebut yo.” pesan ibu.
“Siap bu.” Jawabnya.
Yowis Laras berangkat dulu yo bu.”
“Hati-hati ndo’.”
Laras mengangguk, mencium tangan ibunya dan berlalu.

><><>< 

            Suasana kota Yogyakarta normal seperti biasa. Nampak beberapa sepeda motor, mobil, becak, andong dan pejalan kaki ngalor-ngidul di jalanan. Lumrah seperti biasa. Tidak ada yang aneh kecuali sikap Mas Bagus pagi ini. Pagi ini Mas Bagus lebih pendiam, padahal biasanya ia selalu menggoda Laras. Membuat mood Laras kacau. Namun, ada apa pagi ini? Apakah dia sakit gigi? Dan kenapa ocehan-ocehan ngga pentingnya itu terasa ngagenin? Aneh.
            Sepeda motor yang dikendarai Mas Bagus berhenti, aku turun. Keadaan masih hening. Orang yang ada di hadapan ku ini seperti orang asing. Ya, bukan seperti Mas Bagus yang biasanya.
“Nanti mas jemput aku jam 5?” aku membuka pembicaraan.
Dia tersenyum, mengangguk, dan berlalu. Aneh.

><><>< 

Ruko sudah tutup tapi Bagus belum juga datang, Laras memutuskan untuk berkeliling Prambanan sebentar. Entah mengapa, hatinya yang menuntun kakinya ketempat ini. Tempat yang bukan hanya bersejarah bagi bangsa Indonesia, namun juga untuk Laras. Ya, di tempat ini Laras pertama kali bertemu dengan Galih, di tempat ini Galih mengutarakan perasaannya kepada Laras, dan di tempat ini juga Galih melamar Laras.
Menurut mitos, pasangan yang berpacaran di candi Prambanan kisah cinta tidak akan abadi. Tapi Laras dan Galih tidak percaya dengan mitos itu, karena justru Prambanan lah yang mempertemukan mereka. Jika sekarang cinta mereka terpisah dan tidak abadi, Laras percaya ini sudah takdir Allah. Lagi pula, Galih tetap tumbuh di hati Laras. Meskipun pernikahan impiannya dengan Galih tidak terwujud, tempat ini tetap indah dimata Laras. Karena tempat ini saksi bisu dimana 2 insan bertemu.
“Ras kalo kamu nolak mas sebagai pacarmu, mas mau mengajukan diri sebagai suami mu. Apa kamu mau Ras?” Suara Mas Bagus membuyarkan lamunan ku.
“Ini apa-apaan sih? Tadi pagi mas diemin aku, sekarang tiba-tiba mas ngelamar aku? Maksut mas apa sih?”
“Tadi pagi mas diemin kamu karena setengah mati memikirkan malam ini Ras. Kamu adalah satu-satunya perempuan yang membuat mas nda’ berdaya. Kamu tahu kan mas dengan mudahnya gonta-ganti cewe sesuka hati. Tapi mas nda’ mudah dapetin kamu. Itu alesan kenapa mas milih kamu untuk jadi pendamping mas. Dan bukankah ini sekaligus menjalankan amanat Galih?”
“Lalu kalo mas udah bisa dapetin aku mas akan ninggalin aku seperti cewe-cewe mas yang lain?”
Nda’ Ras, mas serius sama kamu. Mas janji.”
“Aku nda’ butuh janji mas.”
“Lalu apa yang harus mas lakuin supaya kamu mau jadi istri mas?”
Laras terdiam.. perasaan dalam hatinya bergelora. Ia tak mengerti apa yang sedang ia rasakan. Mulutnya bersikeras mengatakan bahwa ia TIDAK MENCINTAI Bagus, namun hatinya? Kenapa dia uring-uringan melihat perubahan sikap Bagus padanya tadi pagi? Rasa apakah ini? Dan bagaimana dengan Galih? apakah Laras mengkhianatinya jika ternyata ia mencintai Bagus?
“Larass..” suara Bagus membuyarkan lamunan Laras.
“Buatkan aku 100 lukisan wajah ku. Harus jadi besok pagi jam 8.”
“Tapi Ras itu nda’ mungkin. Sekarang sudah malam. Mas hanya punya waktu 14 jam untuk menyelesaikan 100 lukisan? Itu mustahil Ras.”
“Mas ambil persyaratan ku atau nda’ sama sekali. Laki-laki pesimis nda’ pantas jadi suami ku.”
Laras pun berlalu tanpa menghiraukan jawaban Bagus. Iya kecewa dengan kepesimisannya barusan.
“Oke Ras, mas akan pulang dan buatkan 100 lukisan untuk mu.”

><><>< 

“Kenapa kamu berikan persyaratan sesulit itu kepada Bagus?” Tanya ibu.
“Entahlah bu, Laras nda’ tahu.”
“Kamu mencintainya ndo’?
Laras menggeleng pelan.
“Tapi bu, bagaimana kalau Mas Bagus nda’ mampu membuat 100 lukisan untuk Laras dalam waktu 14 jam?”
Ibu tersenyum mengembang..
“Kamu khawatir dia nda’ sanggup?”
Laras mengangguk pelan.
“Itu berarti kamu mencintainya ndo’, jangan jadi orang munafik. Ikuti kata hati mu.”
“Tapi bu, bagaimana dengan Mas Galih?”
“Kenapa dengan Galih? Dia sudah tenang disana.”
“Apa Laras mengkhianati Mas Galih apabila Laras mencintai Mas Bagus?”
“Tentu saja nda’ Laras. Bukankah sebelum pergi Galih memberikan amanat kepada Bagus untuk menjaga dan mencintai kamu selamanya?”
Laras mengangguk.
“Kejar cinta mu ndo’, sebelum kamu kehilangannya untuk yang kedua kali.”
Laras tersenyum dan berlalu.

><><>< 

“Mas Bagus…? ”
“Kamu PEMBUNUH!!!
“Apa maksutnya pembunuh? Siapa yang aku bunuh? Mas Bagus ada di dalam kan? Dia mau menikah dengan aku kan bu?”
“Gara-gara kamu anak ku mati. Kamu pembuh Laras. Kamu pembunuh!!
Laras diam. Tubuhnya mematung. Kata-kata ibunya Bagus bagaikan petir yang menggelegar. Bukan, bukan karena ibunya Bagus menuduh Laras pembunuh. Tapi ibunya Bagus mengatakan kalau Bagus sudah meninggal? Ya Allah..
“Sepulang dari rumah mu Bagus buru-buru pergi membeli alat-alat lukisan. Dia ngebut dan kecelakaan. Semua ini gara-gara kamu! Bagus nda’ mungkin seperti ini kalau kamu nda’ ngasih syarat bodoh seperti itu! ” tutur ibu Bagus disela-sela tangisnya.
“Apaaa? Itu pasti bohong kan bu? Aku nda’ mungkin kehilangan orang yang aku cinta untuk kedua kalinya!!!”
“Dasar pembunuh!!!!”
“Aku terlambat! Aku kehilangan dia lagi, aku kehilangan orang yang aku cinta lagi! aku terlambat! Mas Bagussssssssssssss………”

><><>< 

“Ras Laras kamu kenapa teriak-teriak begitu ndo’?”
“Laras terlambat bu.” Laras mulai menangis.
“Terlambat? Terlambat apa maksut mu ndo’? coba jelasin sama ibu.”
“Mas Bagus meninggal bu, Laras sudah kehilangan orang yang Laras cinta untuk kedua kalinya. Laras terlambat bu….”
“Apa? Bagus meninggal? Kamu kata siapa ndo’?”
“Ibunya mas Bagus sendiri yang bilang sama Laras. Kata ibunya mas Bagus Laras adalah pembunuh, karena gara-gara Laras mas Bagus meninggal.”
“Kamu cuci muka gih, sepertinya kamu habis mimpi buruk.”
“Apaa? Mimpi bu?”
“Iya mimpi. Bagus baik-baik aja kok ndo’.”
“Ibu serius? Beneran bu?”
“Bener. Kamu ke rumahnya gih sebelum mimpi buruk kamu jadi kenyataan. Kamu nda’ mau terlambat dan kehilangan cinta untuk kedua kalinya kan?”
Laras mengangguk dan berlalu.


><><>< 

“Mas Bagusssssss?”
“Ada apa Ras? Lukisan yang kamu minta baru jadi 99. Kamu nda’ memintanya sekarang kan?”
Laras tidak menjawab, ia memeluk Bagus.
“Kamu marah Ras?”
Laras menggeleng pelan.
“Lupakan lukisan itu mas, aku nda’ mau kamu kutuk aku menjadi lukisan seperti kisah loro jonggrang yang dikutuk menjadi candi.”
“Kamu ini ngomong apa?”
“Aku mau menjadi istri mu mas.”
“Apa? Mas nda’ denger Ras.”
“A-ku ma-u men-ja-di is-tri ka-mu mas!!!!!!”


><><>< 

Jangan sia-sia kan orang disekitar kita sebelum kamu kehilangan dia untuk selamanya. Sesuatu yang telah hilang biasanya akan terasa lebih berarti.
“Galih, aku akan jalani amanat mu. Aku akan jaga dan cintai Laras. Aku nda’ rebut dia dari mu tow?
“Mas Galih, maaf kalo Laras sudah mencintai laki-laki lain selain mas, tapi percayalah cinta Laras nda’ akan pernah hilang buat mas.”
“Percaya sama ibu, Galih tersenyum disana melihat kalian bahagia.”

><><>< 

SALIB BERKALUNG TASBIH


  

TASBIH DAN SALIB DIANTARA CINTA

“Cukup! Aku ngga butuh komentar apapun dari mulut kalian!”
“Tapi Yos, sebagai teman kita cuma pengen…”
“Kalian fikir aku mau seperti ini? Kalian fikir aku mau mencintai dia? Engga! Aku engga mau! Bukankah cinta berasal dari Tuhan? Dan Tuhan yang mentakdirkan aku mencintai Firman.”
“Tapi tidak dengan cara kamu menjual Tuhan! Apapun alasannya! Apalagi soal cinta.”
“Menjual Tuhan? Kami hanya saling mencintai bukannya ingkar terhadap Tuhan! Dan bukankah kalian itu bukan Tuhan yang bisa menghakimi aku seperti ini?”
“Pasangan bodoh!”

><><>< 

Cinta itu naluriah. Siapa yang tahu kalau ternyata cinta ku adalah kamu. Seorang laki-laki dari keluarga islam yang taat. Aku tidak pernah menyesal mengenalmu. Walaupun beribu orang mengatakan kita pasangan bodoh. Dosakah apabila kita saling merindu? Dosakah apabila kita berharap menyatu? Cinta yang menghampiri kita, bukan kita yang mengemisnya.

Cinta itu Anugrah. Cinta adalah dasar pondasi hidup. Allah menganugrahkan cinta yang begitu menggebu padaku untuk ku titipkan dalam hati mu, seorang gadis dari keluarga protestan yang taat. Aku juga tidak pernah menyesal mengenal mu. Membiarkan hati ini bergejolak dihati mu. Andai mereka mengerti…

><><>< 

“Firmann?”
“Ya..”
“Apakah kita ini pasangan bodoh?”
“Apa menurut mu begitu?”
Yossy menggeleng.
“Mereka hanya tidak mengerti Yos.”
“Apakah kita berdosa apabila kita saling merindu?”
“Entahlah. Aku rasa tidak. Jangan hiraukan ucapan mereka, mereka hanya tidak mengerti apa yang kita rasa.”
Yossy mengangguk pelan.

><><>< 

            Aku Yossy, aku tidak mengerti mengapa takdir membawa ku ke kota ini dan mempertemukan ku dengan Firman? Laki-laki yang mampu menaklukan hati ku. Aku sering bertanya kepada Tuhan,
“Tuhan, mengapa harus dia?”
Aku tahu Tuhan tidak mungkin mentakdirkan sesuatu tanpa maksut. Dan aku yakin, maksut Tuhan adalah untuk mempersatukan perbedaan diantara aku dan Firman. Menjadikan perbedaan itu indah dan membuat kita saling melengkapi satu sama lain.
“Yossy?” suara ibu membuyarkan lamunan ku.
Aku menengok.
“Lusa kita akan pindah ke Surabaya, ayah dimutasi kesana.”
“Tapi bu, bagaimana dengan sekolah ku? Dan Firman?”
“Firman? Lupakan pemuda itu Yos, dia berbeda dengan kita! Dan soal sekolah mu, ibu sudah mengurus surat-surat pindahnya.”
“Tapi bu, aku mencintai Firman.”
“Ini bukan lagi soal cinta Yos, ini soal Tuhan! Kamu ngga mau kan Tuhan marah padamu? Lagi pula kamu masih terlalu kecil untuk mengerti cinta. Firman hanya cinta monyet mu Yos. Lusa kita ke Surabaya dan kamu akan mampu melupakannya. Percaya sama ibu.”
            Yossy terdiam mematung tanpa menjawab. Ia tidak menyanggah atau mengiyakan ucapan ibunya. Dalam hatinya bergejolak. Ia sangat mencintai Firman. Entah cinta apakah ini? Cinta monyet? Atau cinta gorila? Tapi seandainya mencintai Firman adalah sebuah kesalahan, aku harap ibu benar, aku akan ke Surabaya dan melupakannya.

><><>< 

Dear Firman,
Firman, seandainya bertemu dengan mu dan mengucapkan kata selamat tinggal semudah membalikan telapak tangan, aku akan lalukan Fir! Aku akan melakukannya untuk mu. Tapi itu ngga mudah, terselesaikannya surat ini pun ngga mudah. Namun  setidaknya, merangkai kata menjadi suatu tulisan lebih mudah dari pada berbicara dan menatap kedua matamu yang indah. Sebenarnya, perpisahan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan perpisahan yang akan kita jalani kelak apabila kita tetap bersama. Aku tidak pernah bohong mengenai perasaan ku, aku mencintai mu Fir. Entahlah, apakah mencintai mu adalah sebuah kesalahan? Kalau iya, itu adalah kesalahan terindah yang pernah aku lakukan.
Yossy

“Kamu ngga boleh pergi Yossy! Kita harus perjuangin ini sama-sama! Berpegangan tangan dan memanjat tebing perbedaan yang menjulang!”

><><>< 

“Selamat tinggal Jakarta, selamat tinggal mall-mall, selamat tinggal jalanan macet, selamat tinggal udara panas, dan.. selamat tinggal Firman.”
            Mobil yang membawa keluarga Yossy meluncur membelah jalanan ibu kota menuju bandara soekarno-hatta. Sesekali Yossy menengok ke belakang, dalam hati ia berharap Firman menyusulnya ke Bandara.
“Yossy ayo cepat, pesawatnya akan landing  sebentar lagi.”
“Hmmm ya bu.”

><><>< 

“Aku ngga boleh terlambat! Yossy ngga boleh pergi! Yossy.. tunggu aku..!!”
Firman datang 1 menit setelah pesawat Yossy landing. Andai saja Firman 1 menit lebih cepat. Andai saja pesawatnya landing 1 menit lebih lambat. Andai saja Yossy mengurungkan niatnya 1 menit yang lalu. Andai saja..
“Aku terlambat! Aku terlambattttt…!!! Aku terlambattttttttttttttttt!!! Tapi aku janji, ya aku janji aku akan selalu nunggu kamu Yos! Aku yakin kamu akan kembali dan perjuangkan cinta kita lagi! kamu akan kembali Yos! Aku yakinn!”

><><>< 

            SELAMAT DATANG DI KOTA SURABAYA, Yossy membaca tulisan besar yang terpampang di jalanan. Hatinya masih bergejolak. Separuh dari dirinya seperti hilang. Mungkin bukan hilang, tapi tertinggal di Jakarta.
“Kita sudah sampai Yos, ayo turun. Ini rumah baru kita.” Ajak ayah.
“Sebenarnya Surabaya tidak terlalu buruk. Namun... disini tidak ada Firman.”
“Apa? Firman?”
Yossy tidak menyahut.
“Yossy kamu tahu kan nak dia berbeda dengan kita. Kamu tahu kan Tuhan tidak suka kamu begini. Lupakan Firman Yos!”

><><>< 

            Malam semakin larut. Angin dingin berlomba-lomba masuk melalui celah kecil pada jendela kamar Firman. Laki-laki itu belum tidur. Perasaan bergejolak dihatinya membuat kedua matanya enggan terlelap.
“Subhanallah, walhamdulillah, walaaillahailallah, wallahuakbar.”
Mulutnya tak henti-hentiya mengucap kalimat-kalimat Allah. Jari-jemarinya begitu luwes memainkan tasbih. Dia percaya, hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah lah hatinya bisa terasa tenang.
Firman menengadahkan kedua tangannya.
“Ya Allah, jika Yossy adalah tulang rusuk ku, jika Yossy ibu dari anak-anak ku kelak, dan jika Yossy lah nama yang telah kau tuliskan untuk ku sejak aku di dalam rahim, dekatkan lah kami ya Allah, ridho’i kami untuk bersama. Amin.”

><><>< 

            Di tempat lain Yossy merasakan hal yang sama. Cinta ini terlalu menggebu untuk dapat ku bunuh. Semakin aku coba membunuhnya, semakin besar cinta ku padanya. Adanya jarak diantara kita tidak membuat rasa ini hilang, bahkan rindu yang tercipta membuat cinta ini semakin tumbuh, berkembang, dan membesar.
“Firman, kok perasaan aku ngga enak ya? Seperti ada sesuatu yang bergejolak di dalamnya.”
“Kata ibu ku, dengan mengucap kalimat-kalimat Allah hati ini akan terasa tenang dan tentram.”
“Oh ya? Seperti apa?”
“Subhanallah, Walhamdulillah, Walaaillahailallah, Wallahuakbar.”
Yossy tersenyum.
“Kamu bisa lakukan apa yang ibu mu ajarkan tentang Tuhan mu.”
Yossy mengambil gitar dan menyanyikan lagu-lagu nasyid untuk puji-pujian terhadap Tuhan.
Firman tersenyum.
“Doa dan permohonan kita sama, tapi kita meminta kepada Tuhan yang berbeda.”
“Yossy, sebenarnya Tuhan itu cuma 1, kita saja yang menyebut-Nya dengan nama yang berbeda.”
Yossy tersenyum.

“Awwwww sakitt..” gigitan nyamuk dikaki Yossy membuyarkan lamunannya.
Yossy meraih gitarnya, menyanyikan 1 lagu nasyid untuk memuja Tuhannya. Dia menghadapkan tubuhnya ke patung salib yang diletakkan rapi di dinding kamarnya lalu dilanjutkan dengan melipat kedua tangan.
“Tuhan, apabila Firman adalah pasangan yang kau takdirkan untuk ku, dekatkanlah kami. Aku yakin, takdir mu lebih indah dari semua yang ku inginkan.”

><><>< 

5 Tahun berlalu…
“Ayah ngga nyangka kamu sudah menjadi sarjana Man.”
“Ini semua kan berkat ayah dan ibu juga. Firman ngga bisa seperti ini tanpa doa ayah dan ibu.”
“Tapi Man, kamu yakin mau mengambil tawaran itu? Lumayan jauh lho Man ” Tanya ibu.
“Ini kesempatan besar bu, Firman kan sudah besar, anak laki-laki pula, masa ayah dan ibu belum bisa memberikan kepercayaan itu kepada Firman . ”
“Anak kita memang sudah bujang bu.”
“Dimana pun kamu berada semoga Allah selalu bersama mu nak.” Ujar ibu.
“Aminn bu.”

><><>< 

“Yossy, kamu kemana aja sih? Jam segini baru dateng!” Tanya Vena.
“Aku ngga dapet angkutan umum Ven.”
 “Yaudah kamu cepet taruh naskahnya di meja pak Andre mumpung pak Andre belum datang.”
Yossy mengangguk.

><><>< 

“Apa seperti ini kebiasaan pegawai kantor ini?” ucap seorang laki-laki yang ada di dalam ruangan pak Andre.
“Maaf bapak siapa?”
Laki-laki itu membalikan badannya. Ketika itu juga Yossy terbelalak. Bola matanya serasa akan loncat dari kelopak mata. Hal itu juga terjadi pada laki-laki itu, dia tampak terkejut melihat Yossy.
“Yossy?”
“Firman?”
Tanpa banyak berkata-kata mereka saling berpelukan. Firman mencium kening Yossy. Ia sangat menantikan saat-saat ini. Firman meraih sesuatu yang menyangkut di kerah kemeja Yossy.
Yossy tersenyum.
Firman makin bingung. Setahu dia 5 tahun yang lalu sesuatu yang melingkar di lehernya itu lambang salib. Yossy tak memberikan jawaban apa-apa. Ia memeluk Firman sekali lagi dan berbisik ditelinga Firman.
“Ashaduallaaillahailallah wa ashaduannamuhammadarosulullah”

><><><